mobic.store — MASA depan pembasmian korupsi di Indonesia seolah masuk set baru yang penuh kekuatiran. Ada seperti pesimisme yang menyodok jika membaca keadaan eksisting.
Set baru itu diikuti hasil keputusan DPR RI yang pilih lima calon pimpinan (Capim) Komisi Pembasmian Korupsi (KPK) 2024-2029 asal dari kepolisian, kejaksaan, hakim, dan bekas anggota Tubuh Pemeriksa Keuangan.
Hasil itu pasti bisa berkonsekuensi mereduksi karakter independensi KPK yang politik sebenarnya ialah instansi negara yang masuk kelompok constitutional importance bodi, hingga harus dinihilkan dari keterikatan (susunan dan kultur) dengan lembaga-lembaga negara lainnya.
Sekalinya secara normatif sebagai masyarakat negara mereka yang selanjutnya dipilih sebagai Capim KPK mempunyai hak sama untuk menempati kedudukan di KPK, demikian juga DPR RI secara kelembagaan berkuasa tentukan opsi.
Tetapi, wakil masyarakat harusnya pahami jika argumen dan latar berdirinya KPK adalah antitesis atas belum maksimalnya, jika tidak ingin disebutkan tidak berhasilnya, performa ordinary state institution khususnya oleh kepolisian dan kejaksaan.
Pengalaman kabur saat dipegang Firli Bahuri yang dari lembaga kepolisian yang selanjutnya terturut banyak masalah etik sampai pada akhirnya jatuh karena kasus gratifikasi, ternyata tidak jadi catatan dan pelajaran bernilai.
Wakil masyarakat di parlemen sudah dengan menyengaja pilih calon-calon yang punyai keterikatan secara organisasi, atau dalam masalah ini dikuasai berdasar penegak hukum, buka kesempatan untuk ada pengaturan sikap dan perlakuan oleh anasir lembaga yang akan ‘menguasai’ KPK.
Bagaimana juga pimpinan KPK yang mempunyai patronase organisasi dan patronase individual hirarkikal pada lembaga-lembaga pemerintah (penegak hukum) mempunyai potensi membuat instansi itu gampang dikontrol dari ‘luar’ hingga tak lagi mandiri dalam pembasmian korupsi.
Bukan saja itu, supremasi mereka yang berdasar aparatur penegak hukum sudah pasti akan menjadi rintangan atau masalah dalam aktifkan peranan pemicu mechanism oleh KPK.
Pemicu mechanism adalah proses penyebab yang dipakai oleh KPK untuk menggantikan pengatasan sesuatu kasus korupsi yang diatasi oleh aparatur penegak hukum lain, seperti kepolisian atau kejaksaan.
Proses ini seperti sudah ditata dalam Pasal 10A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 mengenai Peralihan atas UU KPK.
Pemicu mechanism bisa memungkinkannya KPK agar dapat menggantikan kasus bila ada tanda-tanda jika kasus itu tidak diatasi dengan efektif, terbuka, atau professional oleh instansi penegak hukum yang lain.
Ini diantaranya mempunyai tujuan pastikan jika penegakan hukum pada tindak pidana korupsi masih tetap jalan, terlebih bila ada kendala di tingkat kepolisian atau kejaksaan.
untuk menghambat praktek maladministrasi jika diketemukan kekuatan penyimpangan kuasa atau perselisihan kebutuhan dalam pengatasan kasus korupsi. Dengan begitu, KPK perlu dengan bebas bisa memakai pemicu mechanism ini untuk jamin kredibilitas proses hukum.
Semua itu dalam rencana menjaga kejelasan hukum, karenanya pemicu mechanism, KPK bisa pastikan jika pengatasan kasus jalan sesuai proses hukum yang berjalan tanpa ada interferensi politik secara kelembagaan atau oleh kebutuhan individu.
Hingga KPK bisa memakai proses ini sebagai cara paling akhir saat instansi penegak hukum yang lain dipandang tidak berhasil atau mungkin tidak sanggup menuntaskan kasus dengan efektif. Maksudnya untuk menjaga integritas pembasmian korupsi.
Semangat ini lahir saat kejaksaan dan kepolisian dipandang belumlah cukup efektif dalam pembasmian korupsi—faktanya kejaksaan dan kepolisian selama ini sudah menjadi instansi yang banyak lakukan korupsi.
Keputusan DPR dengan sendirinya menepikan ada representasi Capim KPK dari elemen atau perwakilan warga sipil, yang diharap menjadi faktor penting untuk selalu menjaga independensi KPK.